TIMES RIAU, RIAU – Dalam waktu yang tidak lama lagi geliat pilkada akan menjelang. Kontestasi 5 tahunan pemilihan kepada daerah tentu menyuguhkan beragam sinema dan drama di masing-masing daerah. Namun, yang sebaiknya menjadi panggung utama adalah kapabilitas para calon yang dapat diamati dari rekam jejak serta visi dan misi yang diusung ketika kampanye.
Diskursus di publik sebaiknya bukan semata-mata tentang “siapa” tetapi lebih berfokus kepada “apa yang ditawarkan” kepada kita. Untuk setiap daerah tentu memiliki cerita tersendiri berkaitan dengan kondisinya masing-masing. Misalnya terkait isu keamanan, kesejahteraan rakyat, kemiskinan, pengangguran, serta isu-isu ekonomi lainnya.
Salah satu diskursus publik yang mungkin bisa menjadi perhatian adalah tentang strategi dan upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kemandirian fiskalnya. Hal ini dirasa penting karena sampai dengan saat ini masih banyak pemerintah daerah yang memiliki ketergantungan pada Transfer Ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pemerintah daerah didorong untuk mampu mengoptimalkan basis-basis penerimaan pajak daerah dan retribusi daerahnya. Daerah seharusnya memiliki kemandirian dan kemampuan mengelola sumber dayanya untuk dapat membiayai kegiatan operasional pemerintahan, pembangunan di daerah, serta kesejahteraan rakyat di daerahnya.
Maka, pemahaman akan local taxing power juga menjadi penting terutama bagi para calon pemimpin daerah yang akan berlaga pada kontestasi pilkada kali ini. Masyarakat seharusnya disuguhi wacana tentang bagaimana keuangan daerah dikelola, dialokasikan, dan dimanfaatkan untuk pembangunan yang pada gilirannya tentu menuju cita-cita kesejahteraan rakyat.
Pada konteks local taxing power tersebut, UU HKPD memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk memperkuat basis-basis penerimaan daerahnya (PAD), baik yang bersumber dari pajak daerah maupun dari retribusi daerah.
Dilansir dari bpk.go.id, penguatan ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, seperti restrukturisasi jenis pajak, munculnya basis-basis pajak daerah yang baru, penyederhanaan jenis retribusi, dan harmonisasi dengan UU Cipta Kerja. Ketimpangan fiskal antar daerah serta kesenjangan pelayanan publik diharapkan dapat dikurangi dengan implementasi UU HKPD ini.
Sementara itu, beberapa daerah yang dikenal cukup kaya dengan PDRB yang besar (https://goodstats.id/) seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, Banten, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) umumnya relatif memadai untuk membiayai operasional pemerintahan dan pembangunan daerahnya. Namun demikian secara nasional, fakta menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah akan transfer dari pusat masihlah sangat tinggi.
Bagaimana dengan Riau? Provinsi Riau menempati posisi ke-6 PDRB tertinggi secara nasional dan terbesar ke-2 di luar Pulau Jawa (riau.bps.go.id). Fenomena ini sudah berlangsung beberapa periode waktu selama tahun 2023-2024 ini. Basis PAD Provinsi Riau sampai dengan saat ini masih mengandalkan penerimaan dari sektor tambang (minyak bumi) dan produk serta industri pengolahan kelapa sawit (CPO).
Bahkan ada yang mengatakan bahwa Riau ini bawah minyak atas minyak. Di Riau berdiri perusahaan energi terbesar di Indonesia, yaitu PT Pertaminan Hulu Rokan (PT PHR). PHR mengelola Wilayah Kerja Rokan, yang merupakan operasi hulu migas di darat (onshore) terbesar di Indonesia.
Daerah operasinya seluas sekitar 6.200 km2 meliputi 7 kabupaten/kota di Provinsi Riau (https://www.disnakerja.com/pt-pertamina-hulu-rokan/). Berikutnya luas perkebunan sawit di Riau sendiri mencapai 3,38 juta hectare atau 20,68% dari total lahan perkebunan sawit nasional (spks.or.id).
Selain itu, di Riau juga terdapat salah satu pabrik kertas terbesar di Indonesia, yaitu PT Riau Andalan Pulp & Paper (PT RAPP) yang telah berdiri sejak 1973 dan saat ini setidaknya telah membuka lebih dari 90 ribu lapangan kerja dan membantu pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan di Riau hingga 30% (liputan6.com). Artinya, dari ketiga sektor usaha ini saja selaiknya pemerintah Provinsi Riau dapat memperoleh PAD yang sangat besar.
Maka dalam rangka mengurangi ketergantungan Provinsi Riau pada TKD dari Pemerintah Pusat, diperlukan pengelolaan dan alokasi TKD yang lebih baik. Misalkan pada aspek akselerasi DAK Fisik dan Dana Desa serta pengalokasiannya pada pos-pos yang berdampak signifikan pada peningkatan kualitas pelayanan publik serta pembangunan di Provinsi Riau.
Dalam Laporan Kajian Fiskal Regional Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Riau dinyatakan bahwa sebagian besar pemerintah daerah (10 dari 13 pemda di Riau) masih berstatus belum mandiri, 2 pemda berstatus menuju kemandirian, dan hanya 1 pemda yang berstatus mandiri.
Bahkan mirisnya, porsi TKD menempati hampir 70% komposisi anggaran daerah, dan PAD hanya di kisaran 26,29% saja. Lalu strategi apa saja yang bisa dirancang untuk memaksimalkan PAD di Riau, terutama pada konteks penguatan local taxing power ini?
Pertama, pemerintahan baru perlu segera menetapkan aturan-aturan turunan dari Perda PDRD. Peraturan kepala daerah yang mengatur SOP, fasilitas dan insentif PDRD tentu memiliki peran penting dalam pengaturan pemungutan PDRD yang tepat di setiap daerah. Aspek yang perlu mendapat perhatian disini adalah kondisi perekonomian masyarakat itu sendiri.
Jangan sampai pemda menetapkan tarif yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Hal ini sebagaimana teori Kurva Laffer (klc2.kemenkeu.go.id), yang menyatakan bahwa menurunkan tarif pajak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dimana sampai tingkat tertentu (point maximizing revenue), kenaikan tarif PDRD akan meningkatkan penerimaan.
Namun, jika tarif terus dinaikkan, pendapatan menjadi menurun karena adanya penghindaran pajak (tax avoidance). Aspek kesejahteraan dan perekonomian masyarakat perlu diteliti dengan seksama agar pajak dan retribusi daerah yang dipungut nantinya tidak membebani masyarakat.
Kedua, pengelolaan pajak dan retribusi daerah juga perlu memperhatikan aspek perbaikan data, tata kelola digital, dan sinergi antar instansi. Di era digitalisasi sekarang ini, muskil jika pemerintah daerah masih melakukan perhitungan dan pemungutan PDRD secara manual.
Transparansi dan akuntabilitas kepada publik selaiknya dapat dikelola dengan lebih baik melalui adaptasi teknologi informasi. Masyarakat perlu diberikan kemudahan dalam melakukan pembayaran PDRD, melalui berbagai platform seperti transfer dan QRIS. Digitalisasi juga akan mengurangi kebocoran penerimaan PDRD karena langsung masuk ke dalam RKUD.
Ketiga, angka pertumbuhan ekonomi di Riau. Data BPS menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau relatif stagnan pada kisaran 3-4% saja. Angka ini masih di bawah dari rerata pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5% per tahunnya.
Hal ini dapat mengindikasikan bahwa walaupun Riau menempati peringkat ke-6 nasional pada kontribusi PDRB terbesar dan nomor 2 di luar Pulau Jawa, namun dengan potensi alam (minyak bumi) dan pertanian (sawit) yang sangat besar belum mampu mengangkat perekonomian Riau secara signifikan. Maka, pemerintahan baru di Riau nantinya perlu lebih jeli melihat potensi-potensi PAD untuk meningkatkan kapasitas local taxing power di Provinsi Riau.
***
*) Oleh : Muhammad Nur, Pegiat Literasi Keuangan Negara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Balada Local Taxing Power di Provinsi Riau
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |