TIMES RIAU, RIAU – Sejarah menjadi penting apabila setiap orang mampu mengambil nilai konstruktif darinya. Kemudian diaktualisasikan untuk kehidupan hari ini maupun di masa depan. Jika tidak, dia hanya sebagai cerita yang larut dalam romantisme masa silam.
Sepintas Tentang PDRI
Pasca Proklamasi, negara ini belum aman dari berbagai ancaman, salah satunya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Pada waktu itu, Belanda berhasil mengambil alih pusat pemerintahan Republik di Yogyakarta dan menawan pimpinan Republik (Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa orang Menteri).
Meski demikian, eksistensi Indonesia tetap terjaga dengan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Penting dipahami bahwa PDRI merupakan salah satu peristiwa sejarah yang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Indonesia hari ini. Menjadi antitesis di tengah kegirangan Belanda yang menganggap bahwa Indonesia telah hancur dengan didudukinya Yogya.
Jika dituliskan secara kronologis, sejarah PDRI cukup panjang. Singkatnya, PDRI dibentuk di Bukittinggi oleh Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa pemimpin setempat. Penyusunan kabinet dilakukan di Halaban. Halaban merupakan nagari yang terletak di lereng Gunung Sago, yang jaraknya lebih kurang 13 KM dari Kota Payakumbuh. Setelah para personalia PDRI berhasil dibentuk, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain, bergerilya supaya terhindar dari tangkapan Belanda.
Sejarawan Mestika Zed dalam tulisannya menjelaskan bahwa episode sejarah PDRl merupakan perjuangan kemerdekaan yang nyata melibatkan semua komponen masyarakat, ketika pentas sejarah revolusi nasional beralih dari kota ke pedesaan, saat perjuangan melibatkan partisipasi rakyat dalam arti sesungguhnya, tidak hanya sekedar pelengkap penderitaan, melainkan menjadi garda terdepan Republik dalam memberikan dukungan terhadap perjuangan, baik tenaga, material dan nyawa mereka (Zed, t.t., hlm. 4).
Muatan Nilai Karakter
Sebagaimana kata Cicero “Historia Magistra Vitae”, dalam kalimat Indonesia dipandang sebagai “sejarah adalah guru kehidupan”. Maknanya, selalu ada hal yang dapat diteladani dari serangkaian peristiwa sejarah itu termasuk dalam aspek pendidikan karakter. Pendidikan karakter tersebut dapat bersumber dari apa yang melekat pada sikap-tindakan aktor yang terlibat ataupun dari peristiwa itu sendiri.
Menurut penulis, dalam konteks PDRI, beberapa nilai yang dapat dicontoh/diteladani oleh anak bangsa dapat dibaca sebagaimana apa yang dijelaskan berikut: Pertama, responsive/tanggap/cepat dalam merespon sesuatu. Bagi kita yang hidup hari ini, perlu kiranya mengambil pelajaran dari sikap responsif Mr. Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin setempat, dan seluruh pihak yang berperan membentuk PDRI.
Hari ini, sikap tersebut wujudnya dapat berupa peka terhadap situasi dan kondisi yang membutuhkan bantuan dalam berbagai aspek. Contoh yang paling kecil yaitu membantu tetangga yang sedang dalam kesulitan. Cakupan lebih luas, yakni responsif terhadap situasi dan kondisi yang dibutuhkan oleh negara dari apa yang kita miliki (pemikiran, kritik, saran, dan aspek konstruktif lainnya).
Kedua, semangat gotong-royong yang diperlihatkan oleh semua pihak termasuk rakyat lokal. Beberapa bentuk nyata keterlibatan rakyat tersebut seperti menyediakan tempat/rumah untuk anggota PDRI menginap, melakukan rapat, memberikan persediaan makanan, memastikan keamanan mereka dan tindakan terkait lainnya.
Hal ini perlu dicontoh untuk diterapkan hari ini. Bahwa spirit gotong-royong itu mesti terus ditanamkan dalam setiap individu supaya terbentuk bangsa yang memiliki solidaritas nasional dalam segi apapun.
Ketiga, sifat rela berkorban, patriotisme, dan nasionalisme. PDRI merupakan pemerintahan berjalan, artinya pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan tenaga yang mereka miliki supaya terhindar dari kejaran Belanda.
Beberapa tempat yang menjadi tempat persinggahan/pusat pemerintahan PDRI seperti Bangkinang, Simpang Tiga, Taratak Buluh, Logas, Sungai Durian, Taluk Kuantan, Kiliran Jao, Muara Labuh, Abai Siat, Bidar Alam, Sumpur Kudus, dan Padang Japang (Kahin, 1997, hlm. 258).
Berdasarkan fakta historis tersebut bahwa para pejuang memperlihatkan sikap rela berkorban, patriotisme, dan nasionalisme yang demikian tinggi sehingga patut ditiru untuk kehidupan kita hari ini, supaya spirit kebangsaan/keindonesiaan lebih mendarah daging di tengah kompleksitas budaya di zaman digital/kemajuan.
Keempat kenegarawanan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan jajarannya. Setelah masa genting pulih, tindak tanduk PDRI dalam menyelamatkan eksistensi Indonesia berhasil, mereka dengan penuh kerelaan dan keotentikan sikap patriotisme-nasionalismenya bersedia menyerahkan kembali kekuasaan kepada pemimpin di Yogya pada tanggal 13 Juli 1949 (Zed, t.t., hlm. 6; Hilmatiar, 2015, hlm. 169).
Hal ini membuktikan bahwa mereka tidak haus akan kekuasaan dan memegang teguh terkait apa yang disebut dengan etika kekuasaan. Berjuang dengan keikhlasan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang tercinta. Keotentikan sifat tersebut perlu dicontoh pada zaman sekarang ini supaya anak bangsa khususnya pemimpin dapat menjadi lebih baik dalam menjalankan segala bentuk aktivitas berbangsa dan bernegara. (*)
***
*) Oleh : Rahfit Syahputra, Guru Sejarah SMAN 1 Rokan IV Koto Provinsi Riau.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Teladan Bangsa: Sjafruddin Prawiranegara
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |