TIMES RIAU, RIAU – Jika tidak ada aral melintang, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 27 November 2024 tinggal menghitung hari. Kampanye di ruang terbuka dan tertutup semakin gencar dilakukan oleh pasangan calon (paslon) gubernur, bupati/walikota untuk memikat hati pemilih agar memilihnya di hari pencoblosan suara.
Tiada hari tanpa kampanye dan sosialisasi yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung oleh setiap paslon serta tim sukses masing-masing, sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Gegap gempita kampanye terdengar riuh-rendah menghiasi lapangan terbuka dan iklan serta pemberitaan di media massa (online dan offline), dan media sosial; WA group, Twitter, instagram dan facebook.
Komisi pemilihan umum (KPU) juga telah mengeluarkan peraturan mengenai kampanye yang dilakukan oleh paslon dan tim sukses, yang mesti dipatuhi di lapangan, seperti; jadwal, waktu dan tempat kampanye. Keadaan ini didukung dengan adanya badan pengawas pemilu (Bawaslu), yang berfungsi mengontrol dan mengawasi jika ada paslon dan tim sukses yang melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Selain itu, dalam kampanye tidak dibenarkan menyerang dan menjelek-jelekkan antar paslon, penyebaran fitnah, kebencian, caci-maki, berita hoaks, merendahkan dan menghina paslon lain, kecurangan, politik uang (money politic), kebohongan publik, memanipulasi data, jual beli-suara, permainan kotor, politik kotor, kejahatan kerah putih, dan sumpah serapah lainnya. Semua ini dilakukan agar Pilkada berlangsung dengan tertib, aman, damai dan menyenangkan semua pihak.
Namun dalam realitas di lapangan, tidak jarang terjadi pelanggaran aturan kampanye yang telah ditetapkan, yang kemudian berujung protes dan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, juga kerap terjadi kegaduhan dan keributan antar pendukung paslon yang disebabkan fitnah, ujaran kebencian, penghinaan, berita hoaks, dan konotasi negatif lainnya.
Seperti yang terjadi baru-baru ini kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) yang dilakukan oleh salah satu paslon yang dianggap menghina dan merendahkan pendukung paslon lain dengan ucapan bahwa di kecamatan Kuantan Mudik ada Malin Kundang. “Dia kita angkat dari kubangan yang paling kotor, setelah jadi, ayah kandung pun dibunuhnya”.
Pernyataan ini yang membuat sebagian warga kecamatan Kuantan Mudik menjadi geram dan marah. “Siapa yang kau maksud dengan orang Kuantan Mudik itu sama dengan Malin Kundang bro?”. Kami sebagai masyarakat, pemuda, dan tokoh masyarakat Kuantan Mudik sangat terluka dan tersakiti dengan pernyataan ini. Begitu sekelumit obrolan dan percakapan di medsos yang beredar dalam beberapa hari belakangan ini di Kuansing.
Kegaduhan dan keributan juga kerap terjadi ketika salah satu paslon atau pendukungnya yang menghalang-halangi atau menggangu paslon lain untuk meletakkan alat peraga kampanye seperti spanduk, baliho dan poster. Kegaduhan juga dipicu tim sukses atau pendukung paslon yang merusak atau memindahkan alat peraga kampanye paslon lawan politik.
Terjadi ejek-mengejek dan menjelekkan paslon di antara tim sukses dan para pendukung, bahkan dilakukan langsung paslon terhadap paslon dan pendukung pihak lawan. Bahkan, keseleo lidah dan terpeleset ucapan sedikit saja, sudah menjadi bahan empuk untuk digoreng dan dipolitisasi.
Demikianlah fenomena kekinian yang kita perhatikan terjadi dalam pilkada di Tanah Air pasca reformasi 1998. Kegaduhan dan keributan politik bisa dipancing dan terpancing serta dimulai dari hal-hal yang sepele dan remeh-temeh untuk kemudian digoreng oleh para elit politik dan tim sukses serta pendukung setia, lalu disebarluaskan melalui media massa dan media sosial yang semakin marak belakangan ini.
Jadi, terjadi dua kegaduhan, di udara melalui melalui media masa dan media online dan kegaduhan riil di lapangan dalam bentuk benturan fisik dan perang kata-kata dan ucapan. Yang kadang-kadang berujung kepada kekerasan fisik dan masuk ranah kriminal yang berujung kepada aparat penegak hukum atau jalan damai.
Tak jarang pula melibatkan pihak ketiga seperti organsiasi sosial dan organisasi masa yang netral dan bukan bersentuhan dengan ranah politik, seperti menunggangi lembaga adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga keagamaan, dan organisasi sosial lainnya.
Sebagai contoh yang terjadi di dalam konflik pilkada yang hangat dan viral di Kuansing dalam beberapa hari belakangan ini, dengan pernyataan saling dukung dari pihak lembaga adat terhadap salah satu paslon yang ikut bertarung. Dan hal ini juga ada potensi terjadi di propinsi, kabupaten/kota lainnya di Tanah Air.
Akhlak Politik
Tidak dapat tidak, satu pintu masuk untuk dapat menciptakan pilkada damai dan menggembirakan (happines) sebagaimana yang digaungkan dengan slogan yang semakin viral yaitu pesta demokrasi, maka pilkada harus membuang jauh-jauh hal-hal yang berpotensi menciderai pesta demokrasi rutin lima tahunan tersebut, baik itu pilkada maupun pilpres dan pil pil yang lainnya.
Aturan dan undang-undang yang telah ditetapkan mesti dijadikan panduan dan pedoman dalam melakukan kampanye dan seluruh tahapan dalam pilkada dan pilpres. Aparat penegak hukum dan pengawal keadilan masyarakat harus didukung dengan integritas yang tinggi dan tidak pilih kasih dan tebang pilih.
Harus tegak lurus dan konsisten didalam kerja dan kinerja. Membela kebenaran dan menegakkan keadilan selurus-lurusnya demi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa dan negara dan mantapnya demokrasi di Tanah Air.
Kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah dengan sosialisasi yang terprogram dan berterusan di dalam pendidikan politik secara merata kepada seluruh anak bangsa. Sehingga seluruh masyarakat semakin sadar dan santun serta berakhlak politik yang kita harapkan. Dapat terwujud etika dan akhlak politik yang semakin mencerahkan dan menggembirakan. Nilai-nilai etika dan akhlak mulia semakin bersinar dan menghiasai seluruh tahapan dan proses pilkada di Tanah Air.
Hal-hal negatif yang kerap kita lihat dan baca di lapangan, media masa dan media sosial semakin menipis dan berkurang. Berganti dengan hal-hal yang positif dan bernada harapan dan baik-baik saja. Bahkan kalau boleh saling memuji dan memberikan apresiasi kepada paslon lawan.
Kejujuran, integritas, transparansi, keterbukaan semakin menyerah dan tampak nyata dalam kehidupan nyata dan kehidupan virtual via medsos dan gadget dalam seluruh tahapan pilkada. Intinya, etika atau akhlak politik semakin mendominasi dan dijadikan patokan dan panduan dalam proses demokrasi di Tanah Air.
***
*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pilkada Damai 2024
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |