https://riau.times.co.id/
Opini

Membangun Kesadaran Ekologis di Raja Ampat

Selasa, 10 Juni 2025 - 07:55
Membangun Kesadaran Ekologis di Raja Ampat Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.

TIMES RIAU, RIAU – Dalam seminggu terakhir ini begitu gencar pemberitaan berkenaan kisruh ekologis di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang selama ini publik hanya mengenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari populer di Tanah air dan mancanegara, yang terkenal dengan keindahan ekosistem terumbu karang dan biota airnya. 

Bahkan saking indah dan menariknya, siapa saja yang telah berkunjung ke sana ingin untuk datang kembali, dan antusias menceritakan kepada orang lain, serta betah  berlama-lama disana untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Namun tiba-tiba publik dikejutkan dengan berita yang menghebohkan secara ekologis dengan adanya usaha tambang nikel di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, Pulau Kawe dan Pulau Manurun yang kemudian menimbulkan kontroversi dan menjadi pemberitaan hangat di media elektronik dan cetak, termasuk perbincangan di media sosial dengan beragam komentar, saran dan pendapat publik. 

Raja Ampat yang selama ini dikenal dan viral sebagai destinasi wisata alam yang menarik dan populer dikalangan pelancong merasa ternodai dengan adanya usaha penambangan nikel disana. Ruponya usaha tambang tersebut sudah berlangsung cukup lama  tetapi luput dari pemberitaan. 

Bahkan kita baca dimedia sosial bahwa Bupati Raja Ampat sudah berbicara bahwa daerah tidak bisa berbuat apa-apa, atau dengan bahasa sindiran dikatakannya daerah hanya jadi penonton saja. Artinya, ada kegelisahan dan kerisaua di tingkat lokal dengan kehadiran tambang nikel, namun karena semuanya dibawah otoritas pusat, daerah tidak bisa ikut campur dan berbuat. 

Seperti biasanya di Tanah Air, kasus ekologi semacam ini bukan barang baru dan sudah jamak terjadi di berbagai tempat dan wilayah di Indonesia, khususnya di tempat-tempat yang kaya akan sumberdaya alam (minyak bumi, gas, batubara, emas, nikel, timah, boksit, bijh besi, silika, hutan dan perairan), seperti; di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sumatera dan Papua, termasuk juga sebagian di Pulau Jawa. 

Semuanya terjadi karena lebih mementingkan kepentingan ekonomi jangka pendek dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan, namun kerap abai didalam menjaga kelestarian ekologi dan sumberdaya alam.

Memang pada umumnya, pihak korporasi sudah mengantongi izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah. 

Namun dalam kenyataan di lapangan, banyak rekomendsai yang telah digariskan di dalam Amdal tidak dilakukan, ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di Tanah Air. Bahkan, ada korporsi yang dibangun terlebih dahulu baru kemudian diurus izin amdalnya. 

Ekologi Versus Ekonomi

Demi untuk mengejar keuntungan ekonomi, banyak prinsip-prinsip ekologi yang dikesampingkan atau dimudah-mudahkan. Sehingga kemudian mendapatkan protes dan penolakan dari publik, karena dampak ekologi yang kerap menyengsarakan masyarakat lokal dari pencemaran dan limbah industri. 

Karena kebanyakan industri dibidang minyak dan gas (migas) dan tambang adalah industri kotor (dirty industry) atau ada yang menyebutnya sebagai eksploitasi “hitam” lawan dari usaha eksploitasi “hijau” yang peduli dengan  kelestarian lingkungan  dan sumberdaya alam. 

Selain itu, kos sosial (social cost) yang mestinya dibebankan kepada korporasi sebagai dampak ekologi dari kegiatan korporasi tidak dijalankan, atau hanya sekedar lipstik saja. Sehingga secara sosial masyarakat juga menderita kerugian, dengan hilangnya pekerjaan, menurunnya pendapatan. 

Timbulnya berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan dan dampak sosial-budaya tidak langsung yang menyertainya, yang seharusnya kos sosial ini ditanggung perusahaan melalui corporation social responsibility (CSR) dan kebijakan lainnya.

Protes dari  masyarakat, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal juga kerap tidak berdaya, namun jika sudah LSM internasional seperti Greenpeace baru pemerintah agak mulai tanggap dan diberi perhatian, seperti kasus di Raja Ampat, setelah Greenpeace berbicara lantang dan diekspos di media nasional dan internasional baru pemerintah pusat turun tangan dan menindaklanjutinya. 

Begitulah drama ekologi di Tanah Air, khususnya di era reformasi yang semakin parah dan menggila. Dimana eksploitasi sumberdaya alam dilakukan dengan usaha besar-besaran, oleh orang besar dengan dukungan dana dan kekuatan besar dengan keuntungan besar. 

Sementara pihak yang memprotes dan menolak dengn segala sesuatu yang serba kecil dan terbatas, sehingga sering kalah dalam pengambilan keputusan akhir. Bagaimanapun kita tetap optimis dan memberikan dukungan penuh kepada pejuang/aktivis lingkungan yang ada, agara sumberdaya alam dan lingkungan yang masih tersisa dapat untuk dipertahankan untuk generasi yang akan datang dan kemakmuran Indonesia dalam arti ayng seluas-luasnya. 

Karena dari berbagai penelitian juga didapatkan bahwa kerugian finansial dengan cara mengekploitasi yang tidak memperhatiakn prinsip-prinsip ekologi jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan finansial untuk jangka panjang. 

Apalagi kerugian ekologis, yang jelas berkali-kali lipat, khususnya sumberdaya alam yang tidak bisa perbaharui, seperti; nikel, emas, timah, minyak bumi, gas dan batu bara serta barang tambang dan mineral lainnya. 

Dari berbagai kasus ekologi yang melanda Tanah air dapat kita simpulkan bahwa dalam konteks perlindungan dan pemeliharaan lingkungan dan sumberdaya alam masih lebih mengutamakan kepada kepentingan manasuia, atau dalam bahasa ilmiahnya masih bersifat antropocentris. 

Belum lagi sampai tahap untuk keseimbangan antara kepentingan manusia yang biasanya diukur dari aspek  ekonomi (finansial), berbanding dengan usaha untuk pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, yang dikenal dengan pandangan ekocentris.

Bahkan ada segelintir kecil lagi yang justru lebih mementingkan makhluk hidup lainnya seperti pelestarian gajah, harimau, paus, hiu, arwana dan yang sejenisnya yang dikenal dengan istilah biocentris. 

Bahkan mereka terkadang dijuluki sebagai jurubicara gajah, harimau dan paus, saking getolnya menyuarakan kepentignan dan hak asasi hewan, bahkan seolah-olah  melebihi hak asasi manusia. Segelintir dari aktivis lingkungan mungkin bisa masuk dalam kategori ini. 

Kembali kepada kasus penambangan nikel di Raja Ampat, idealnya kepentingan ekologi mendapatakan perhatian serius dan menjadi  prioritas. Bahkan beberapa ahli menyuarakan bahwa yang seharusnya terlebih dahulu dievaluasi adalah kelayakan ekologinya. Jika kelayakan ekologi tidak memenuhi syarat, maka tidak perlu lagi dikaji kelayakan ekonomi. 

Namun yang terjadi di Tanah Air, justru kelayakan ekonomi yang ditonjolkan dan menjadi pertimbangan utama didalam pengambilan keputusan. Jadi, selagi pandangan dan nilainya (value) tidak berubah maka sulit diharapkan adanya perbaikan. Sebab, nilai yang akan mempengaruhi keputusan akhir. 

Jika nilai ekologi yang ada dibenak pengambil keputusan, maka apapun akan berpihak kepada ekologi, dan sebaliknya. Nilai diepngarauhi oleh idiologi, keyakinan dan pendidikan individu yang tidak secara spontan dan tiba-tiba bisa berubah. 

Oleh karena itu, dalam konteks pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kualitas sumberdaya manusia (SDM) adalah kunci utamnya, baik pemerintah (goverment), pengusaha (private) maupun masyarakat (people), karena ketiganya adalah saling berkelindan dan saling mempengaruhi satu dengan yagn lainnya. 

Para ahli seperti Hardoy et al (1992) dalam bukunya Environmental Problems in Thirld World Cities mengatakan bahwa kata kunci untuk pelestarian lingkungan di kota-kota negara berkembang adalah kemampuan dari kapasitas lokal (local capacity), dimana dilanjutkannya bahwa teknologi, finansial dan kepakaran bisa diimport dari luar, tapi jika kapasital lolal tidak mendukung, semuanya juga tidak bisa diharapkan. 

Mau tidak mau, membangun kesadaran ekologis untuk seluruh lapisan masyarakat semestinya menjadi skala prioritas untuk melindungi ekosistem di Raja Ampat dan ekosistem lainnya yang masih tersisa di Tanah Air. Semoga. 

***

*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Riau just now

Welcome to TIMES Riau

TIMES Riau is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.